Have an account?

Senin, 22 Maret 2010

PERIODE 1950-1959

Periode ini dimulai setelah pengakuan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 oleh Belanda. Pengakuan Kedaulatan Indonesia oleh dunia internasional merupakan babak baru dalam sejarah perjuangan yang mana Bangsa Indonesia sudah memiliki kedudukan yang sederajat dengan bangsa lain di dunia. Akan tetapi, bangsa Indonesia masih harus memperjuangkan Irian Barat untuk bersatu dengan Negara RI karena masih dikuasai oleh Belanda.

Pada periode ini bias dikatakan merupakan masa uji coba terhadap model demokrasi yang cocok bagi Indonesia. Sebab pada saat itu selalu terjadi pergantian system pemerintahan. Sebetulnya sejak tahun 1945 sistem pemerintahan yang dipergunakan juga sudah tidak pas dengan UUD 1945 karena menggunakan Kabinet Parlementer dengan Perdana Menteri. Namun hal ini larut dalam suasana perang fisik untuk mempertahankan kemerdekaan. Pelaksanaan model itu diulang lagi pada tahun 1950. Bahkan muncul UUDS 1950 yang menguatkan system pemerintahan Parlementer.

Maka pada saat itu dalam jangka waktu tahun 1950-1958 terjadi pergantian cabinet sampai 7 kali. Hal ini bias terjadi karena pada system demokrasi parlementer setiap partai ingin memenangkan partainya dan menguasai pemerintah. Padahal jumlah partai lebih dari 30-an. Sehingga bias dipahami bahwa selalu terjadi perdebatan di tingkat parlemen oleh wakil partai-partai untuk memenangkan dan mendahulukan program partainya. Maka seasana selalu diliputi oleh persekongkolan antar partai untuk menjatuhkan partai yang berkuasa.

MASA PROKLAMASI SAMPAI DENGAN PENGAKUAN KEDAULATAN

Periode 1945-1949 merupakan masa genting bagi bangsa Indonesia karena pada periode ini muncul berbagai ancaman tantangan, hambatan dan gangguan itu berasal dari dalam dan luar negeri.

Belum genap sebulan kemerdekaan diperoleh telah datang Tentara Sekutu yang diboncengi oleh tentara Belanda. Belanda bermaksud untuk menjajah lagi Indonesia. Di samping itu, Tentara Jepang tidak begitu saja mau melepas senjata dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Pertumpahan darah terjadi di mana-mana untuk mempertahankan kemerdekaan, baik melawan Tentara Jepang maupun Tentara Belanda. Namun karena kedudukan RI masih lemah maka proses mempertahankan kemerdekaan ini memakan waktu yang cukup lama. Belanda mengadu domba bangsa Indonesia dengna membentuk Negara-negara boneka setelah berhasil mengadakan agresi militernya.

MASA PERWUJUDAN

Kelahiran Sumpah Pemuda tahun 1928 yang dibidani oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia merupakan titik puncak dari kesadaran perlunya Nasionalisme Indonesia. Peristiwa ini menunjukkan adanya kesadaran sejarah bahwa mereka yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mendiami tanah air yang dijajah Belanda adalah satu kesatuan, senasib, dan sepenanggungan sehingga perlu untuk menentukan sikap untuk bersatu membentuk suatu Negara yang merdeka, berdaulat adil dan makmur yang selama itu hanya menjadi idam-idaman saja. Mereka berhasil menyatakan kebulatan tekad akan pengakuan tanah air, bangsa, dan bahasa yang satu yaitu Indonesia. Di samping itu mereka juga sudah mempersiapkan lagu kebangsaannya kelak yaitu Indonesia Raya dan bendera negaranya Merah Putih.

MASA AWAL KEBANGKITAN NASIONAL

Sebagai akibat politik etis yang didalamnya terkandung usaha memajukan pengajaran , pada dekade pertama abad XX anak-anak Indonesia mengalami hambatan kekurangan dana belajar. Maka Dr. Wahidin Sudirohusodo berusaha menghimpun dana dengan mendirikan yayasan Bea Siswa (Studie-fonds) tahun 1906. Pada tahun 1906-1907 melakukan propaganda keliling Jawa. Ketika berada di Jakarta Beliau bertemu dengan Sutomo, seorang mahasiswa School Tot Opleiding Voor Inlandsche Arsten (STOVIA). Ide ini dikembangkan oleh Sutomo, kemudian pada tanggal 20 Mei 1908 Sutomo dan rekan-rekannya mendirikan Budi Utomo (BU) di Jakarta. Berdirinya BU menandai perkembangan baru dalam sejarah Pergerakan Bangsa Indonesia. Van Deventer berkomentar, “India, negeri cantik jelita yang selama ini tidur nyenyak, kini telah bangkit”. (India berarti Indonesia). Sementara Pers Belanda mengomentari berdirinya BU dengan kata “Java vooruit” (Jawa maju!) dan “ Java onwaakt” (Jawa bangkit!). BU merupakan pergerakan modern yang pertama walaupun sebenarnya masih bersifat kedaerahan. Namun kemudian mempelopori berdirinya perkumpulan modern yang lain. Disamping itu arah perkembangan pergerakan ini juga nasional. Organisasi ini dapat dipandang secara simbolis sebagai pergerakan nasional menentang penjajah sejak awal mula, melambangi kebangkitan nasional. Maka tanggal berdirinya BU selalu diperingati oleh Bangsa Indonesia sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pada mulanya BU hanyalah merupakan pergerakan sosial kultural, yang bertujuan membangun masyarakat Jawa-Madura secara harmonis. Di samping itu karena sifatnya sebagai pergerakan perintis, sifat sosial kultural itu memang terpaksa dipilihnya karena pasal 111 Regerings Reglement (RR) melarang berdirinya perkumpulan politik.

PENGELOLAAN MUSEUM PERJUANGAN YOGYAKARTA

Kepengurusan Museum Perjuangan Yogyakarta sejak berdiri sampai sekarang telah mengalami beberapa kali pergantian pengelolaan. Adapun pengelolaan sejak 1961 sampai dengan sekarang ini adalah sebagai berikut :

  1. Tahun 1961-1963. Museum Perjuangan Yogyakarta dikelola oleh panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional DIY dan mulai saat itu museum dibuka untuk umum.
  2. Tahun 1963-1969. Museum Perjuangan masih dikelola oleh Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional DIY, namun tidak dibuka untuk umum.
  3. Tahun 1970-1974. Museum Perjuangan masih ditutup untuk umum, namun pengawasan diambil alih oleh Pemda Prop. DIY Cq Inspeksi Kebudayaan Dinas P & K Prop. DIY.
  4. Tahun 1974-1980. Museum Perjuangan masih ditutup untuk umum, namun pengelolaannya berada di bawah bidang Permuseuman Sejarah dan kepurbakalaan Kanwil Depdikbud Prop. DIY.
  5. Tanggal 30 Juni 1980 – 5 September 1997. Museum perjuangan dibuka untuk umum kembali dibawah pengelolaan Museum Negeri Propinsi Sonobudoyo.
  6. Tanggal 5 September 1997 – Sekarang. Museum Perjuangan Yogyakarta dijadikan satu dengan Museum Benteng Yogyakarta, masih di bawah naungan Dirjen Kebudayaan Depdikbud.

ARTI DAN MAKNA BANGUNAN MUSEUM PERJUANGAN

Bangunan Museum perjuangan secara keseluruhan mimiliki arti dan makna sesuai dengan tujuan bangunan didirikan. Bangunan gedung berbentuk bulat silinder dengan garis tengah 30 m dan tinggi 17 m. Bangunan ini merupakan hasil perpaduan bentuk bangunan model jaman Romawi Kuno dengan bangunan model timur, yang dinamai “RONDE TEMPEL”. Di bagian kiri dan kanan pintu masuk museum terdapat hiasan makara berbentuk binatang laut. Bagian atap gedung berbentuk topi baja model Amerika dengan hiasan puncak lima buah bambu runcing yang berdiri tegak di atas bulatan dunia. Sedang bulatan dunia itu sendiri terletak di atas lima buat trap. Di bagian atas pintu masuk museum terdapat hiasan berbentuk binatang bersudut delapan dengan peta kepulauan Indonesia di tengah-tengahnya. Di bawahnya ada Condrosengkolo ciptaan R.M. Kuswaji Kawindro Susanto berbunyi : “Anggotro Pirantining Kusuma Nagoro”. Pintu masuk ke museum terdapat trap / undak-undakan berjumlah 17 buah. Kemudian daun pintu masuk dan keluar berjumlah 8 buah. Cendela yang mengelilingi bangunan museum berjumlah 45 buah. Cendela yang satu dengan yang lainnya dipisahkan oleh pilar yang berhiaskan ukiran lung-lungan menyerupai api yang tak kunjung padam.

Bentuk bangunan tersebut secara keseluruhan mengandung arti simbolis bahwa Kemerdekaan Indonesia diperoleh melalui perjuangan bangsa Indonesia sendiri, bukan hadiah dari bangsa lain, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Tahun Condro sengkolo kalau dibaca memiliki arti tahun pendirian museum yaitu 1959. Sedangkan jumlah trap, daun pintu dan candela melambangkan tanggal, bulan dan tahun kemerdekaan. Hiasan pilar pemisah candela ini memiliki arti simbolis semangat bangsa Indonesia uang tak pernah pudar dalam memperjuangkan, mempertahankan dan mengisi kemerdekaan dengan melaksanakan pembangunan menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

Di samping itu di sekeliling dinding luar museum dilengkapi sepuluh patung kepala pahlawan nasional serta 37 relief sejarah perjuangan bangsa Indonesia sejak jaman pergerakan nasional sampai dengan pemulihan kedaulatan tahun 1950.

PENDIRIAN MUSEUM PERJUANGAN YOGYAKARTA

Dalam rangka peringatan abad kebangkitan nasional, di Yogyakarta dibentuk panitia yang diberi nama “Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta”.Panitia tersebut di ketahui oleh Sri Sultan Hamengku Buwono XI dan beranggota kepala djawatan, wakil-wakil kalangan militer dan polisi, pemimpin-pemimpin partai dan organisasi dari segala aliran dan keyakinan yang tergabung dalam Panitia Persatuan Nasional (PPN), serta kaum cerdik cendekiawan dan karya

Pada tanggal 20 Mei 1958, diadakan upacara setengah abad kebangkitan nasional di halaman Gedung Agung Yogyakarta. Selain itu dilakukan juga kerja bakti, gerakan menembah hasil bumi, mengumpulkan bingkisan untuk kesatuan-kesatuan yang sedang menumpas pemberontakan, serta mengadakan ziarah ke makam para pahlawan nasional. Meski demikian, panitia merasa ada sesuatu yang kurang. Oleh karena itu muncul gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono Bowono IX selaku ketua Panitia Setengah Abad Kebangkitan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengadakan suatu tinggalan bagi generasi mendatang.

Selanjutnya untuk membahas apa dan bagaimana monumen itu dikemudian hari, panitia monument setengah abad kebangkitan nasional membentuk panitia khusus (panitia sembilan). Adapun susunan panitia tersebut adalah sebagai berikut :

Ketua : Sunarjo Mangunpuspito

Sekretaris : Soetardjo

Anggota : Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo, Soenito Djojosoegito

Nj.Shair Nitihardjo Bismo Wignjoamidjojo, Daloeni,

Fdlan AGN,RW.Probosoeprodjo, Mangunwarsito

Pada tanggal 22 Mei 1958 panitia khusus mengadakan rapat di gedung Djapendi. Rapat membahas masalah-masalah yang berkaitan dengan kepanitian, arti penting monumen, letak monumen, bentuk monumen, sumber dana, dan rencana kerja.

Pada tanggal 7 Juli 1958, dalam rapat pleno yang dipimpin oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX panitia monumen setengah abad kebangkitan nasional menyetujui apa yang telah direncanakan dan dikerjakan oleh panitia khusus. Untuk merealisasikannya, maka dalam rapat tersebut dibentuk dua panitia kecil. Adapun susunan kepanitiaan tersebut sebagai berikut :

1. Panitia Teknis, yang terdiri dari :

Ketua : Prof.Ir.Soewandi

Sekretaris : diambilkan personal dari Djapendi, dan juga berkantor di sana

Anggota : Sdr. Bismo Wignyoamidjojo, Sdr. Winoto.

2. Panitia keuangan, yang terdiri dari :

Ketua : Sunarjo Mangunpuspito

Anggota : diambilkan personel dari resimen infanri, Ds. S.P. Purbowijogo

Rapat juga menunjuk Mr.Soedarisman Poerwokoesoemo untuk menghubungi pengurus/ panitia yang dulu pernah dibentuk untuk mengambil alih pekerjaan mereka dan diminta supaya menunjuk seorang wakilnya untuk duduk dalam Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional.

Perlu disampaikan bahwa di Yogyakarta pada tanggal 2 Desember 1952 telah dibentuk Panitia Sementara yang bermaksud merencanakan berdirinya sebuah museum perjuangan untuk menyimpan dan memelihara benda-benda yang di pergunakan oleh rakyat Indonesia pada masa perjuangan kemerdekaan. Adapun susunan kepanitiaan pada waktu itu adalah :

Ketua : Sri Paku Alam VIII

Wakil Ketua : Prof.Mr.A.G. Pringgodigdo

Sekretaris : I. Hutauruk

Bendahara : RM.Dryono

Anggota : Kol. Bachrun, Overste Sarbini, Pemb. Komisaris Besar, Polisi Sudjono Hdopranoto, R. patah dan Mr. Soedarisman Poerwokoesoemo.

Selanjutnya Panitia Sementara Museum Perjuangan menyerahkan barang-barang yang berhasil dikumpulkannya, antara lain berupa :

1. Barang-barang berypa pakaian dan lain-lain yang dipakai oleh Panglima Besar Jendral Soedirman ketika bergerilya.

2. Tas yang dulu dipergunakan oleh Drs.Mohammad Hatta ketika menghadiri perundingan KMB di Den Haag Belanda

3. Barang-barang berupa senapan juga pedang dari Aceh.

4. Uang dengan jumlah beberapa ratus rupiah.

5. Uang dijanjikan oleh Presiden Soekarno sebanyak Rp. 100.000 (seratus ribu rupiah) dengan cacatatan supaya panitia Monumen berhubungan langsung dengan beliau.

Sejak saat itu kata ”Museum Perjuangan” mulai degunakan lagi, dan menggeser kepopuleran kata “Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional”. Berita-berita yang muncul di Koran-koran juga mendorong perubahan penyebutan dari Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional menjadi Museum Perjuangan.

Karena itulah, pada tanggal 14 Mei 1959 Museum Pusat TNI AD menghubungi panitia Museum Setengah Abad Kebangkitan Nasional di Yogyakarta dengan mengutus Kapten Kamari Samporno untuk mengadakan pembicaraan dengan Sdr.Soetardjo selaku sekretaris Panitia Monumen Setengah Abad Kebangkitan Nasional di Yogyakarta

Dalam rapat pleno keempat tanggal 19 Juni 1959, ketua panitia teknik Prof.Ir.Soewandi memberikan penjelasan tentang rencana dan bentuk bangunan. Ide bentuk bangunan muncul dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX Museum Perjuangan akan berbentuk bulat, sedang ornament-ornamentnya akan diambilkan dari bermacam-macam candi.

Terkait dengan masalah permohonan dana terhadap pemerintah pusat, telah ditunjuk Sdr.Soetarjo (kepala Djapendi Yogyakarta) selaku panitia Sekretaris Panitia Monumen Setengan Abad Kebangkitan Nasional hasilnya bahwa pemerintah RI sanggup memberikan dana sebesar Rp. 8.000.000, serta menyanggupkan diri hadir dalam peringatan 10 tahun peringatan “Yogya Kembali”. (berakhirnya penarikan mundur Tentara Belanda dari Kota Yogyakarta).

Pada tanggal 29 Juni 1959 Di Gedung Negara Yogyakarta (Gedung Agung) diadakan peringatan 10 tahun “yogya Kembali. Yang dihadiri oleh tokoh-tokoh penting pada masa clas II (agresi militer Belanda kedua). Sebagai wakil pemerintah hadir Wakil Perdana Menteri I Mr.Hardi yang mewakili Perdana Menteri (waktu itu Ir.Djuanda) sedang berada di luar negri. Berkenen memberikan sambutan dalam acara tersebut antara lain : Kepala Daerah dan Ketua DPRD Siswosoemarto dan Wakil Perdana Menteri I Mr.Hardi. Dalam sambutannya Wakil Perdana Menteri I Mr.Hardi mewakili Pemerintah menyatakan persetujuan terhadap pendirian Museum Perjuangan di Yogyakarta.

Laporan pelaksanaan tugas seksi-seksi tersebut di sampaikan dalam rapat pleno tanggal 26 Juli 1959. dengan mempertimbangkan laporan dari tiap seksi maka di tetapkan bahwa pemasangan patok pertama kali dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1959. Upacara tersebut berlangsung di halaman ndalem Brontokusuman Yogyakarta tepat pukul 12.00 WIB usai upacara resmi di Gedung Negara Yogyakarta(Gedung Agung). Dalam acara tersebut antara lain para pembesar sipil maupun militer beserta tamu undangan. Karena Sri Sultan Hamengku Buwono IX berhalangan hadir maka pemasangan patung dilaksanakan oleh Sri Paku Alam VIII dengan demikian tanda dimana gedung Moseum Pejuangan nantinya akan dibangun sudah ada.

Pada tanggal 21 Agustus 1959 di Gedung Agung Wilis Kepatihan Yogyakarta diadakan rapat Pleno yang ke tujuh. Rapat ini di pimpin oleh Ketua panitia Sri Sultan Hamengku Buwono ke IX. Dalam rapat tersebut Sri Sultan Hamengku Buwono IX melaporkan hasil kunjungannya ke Jakarta, antara lain keberhasilannya menemui Perdana Mentri Ir. Djuanda dan Menteri Keamanan Nasional Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution.

Pada tanggal 1 September 1959 diadakan pertemuan antara Seksi 1 (pembangunan Gedung Museum) dengan para pemborong dari berbagai kota besar di Jawa seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Sala, Surabaya, Malang dan Yogyakarta. Peremuan diadakan di ruang Perpustakaan Djapendi (Djawatan Penerangan Daerah Istimewa) Yogyakarta.

Sebagai awal pembangunan gedung Museum Perjuangan, pada tanggal 5 Oktober 1959. kemudian para hadirin di persilahkan menuju kehalaman muka dengan mengelilingi patok yang telah di pancangkan pada tanggal 17 Agustus 1959. Ayunan cangkul pertama dilakukan oleh Sri Paku Alam VIII. Selaku Wakil Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta bersama para pembesar sipil, militer polisi dan lain-lain. Tahap berikutnya pada saat HUT ABRI tanggal 5 Oktober 1959 dilanjutkan dengan upacara pencangkulan pertama jgua oleh Sri Pakualam VIII. Dari proses awal pembangunan sampai selesainya serta peresmian Museum Perjuangan kurang lebih memakan waktu dua tahun. Untuk mengakhiri pembangunan museum maka pada tanggal 29 Juni 1961 dilakukan peletakan batu terakhir oleh Sri Sultan HB IX. Peresmian atau pembukaan museum dilaksanakan pada tanggal 17 Nopember 1961 oleh Sri Pakualam VIII.

PENDAHULUAN

Museum Perjuangan merupakan Unit II dari Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Hal itu terjadi sejak tanggal 5 September 1997 ketika diadakan serah terima Museum Perjuangan dari Museum Negeri Provinsi Sonobudoyo kepada Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

Berdirinya Museum Perjuangan tidak dapat dilepaskan dengan peringatan setengah abad kebangkitan nasional. Gagasan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang menginginkan adanya sebuah tinggalan bagi generasi mendatang terkait dengan peringatan setengah abad kebangkitan nasional.

Lahirnya jiwa nasionalisme Indonesia yang ditandai dengan berdirinya Budi Utomo tanggal 20 Mei di Jakarta, merupakan tonggak sejarah bangkitnya Nasionalisme Indonesia. Organisasi Budi Utomo merupakan pelopor berdirinya organisasi modern yang pertama, dalam arti mempunyai pimpinan, anggota, dan ideologi yang jelas.

Berdirinya Budi Utomo diikuti oleh berdirinya organisasi-organisasi lain. Organisasi yang semula bergerak dalam bidang sosial, budaya, bahkan keagamaan, lama kelamaan mengalami perubahan dengan berorientasi pada bidang politik. Nilai-nilai nasionalisme yang lahir dengan berdirinya Budi Utomo, semakin berkembang secara simultan, bukan saja menjangkau partai-partai politik tetapi juga organisasi-organisasi pemuda.

Para pemuda dan pelajar dari berbagai organisasi mulai bergabung dalam suatu wadah yang sama yaitu Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang didirikan pada tahun 1926. Mereka kemudian menyelenggarakan Kongres Pemuda Pertama pada bulan Mei 1926. Mereka ingin mengesampingkan perbedaan-perbedaan berdasarkan daerah dan ingin menciptakan kesatuan bagi seluruh bangsa Indonesia.